Oleh Angelina Jolie
Time, 8 Maret 2021
Di beberapa negara, 8 Maret, Hari Perempuan Internasional, juga merupakan Hari Ibu. Di Bosnia-Herzegovina salah satunya. Waktu ini amat mengharukan bagi satu kelompok perempuan Bosnia, Ibu dari Srebrenica, yang suami, anak laki-laki dan kerabat laki-lakinya termasuk di antara lebih dari 8.000 laki-laki dan anak laki-laki yang dibunuh selama genosida pada tahun 1995 . Sebagian besar Ibu Srebrenica tidak punya kerabat yang masih hidup untuk dihormati dan dicintai hari ini, atau untuk membawakan mereka hadiah tradisional Hari Ibu Bosnia berupa seikat anyelir merah.
Srebrenica ditetapkan sebagai "zona aman" oleh Dewan Keamanan PBB pada tahun 1993, pada tahap awal perang di Bosnia. Ribuan warga sipil Muslim Bosnia mengungsi di pangkalan PBB di Srebrenica, mempercayakan hidup mereka kepada komunitas internasional. Pada Juli 1995 Srebrenica dikuasai pasukan Serbia Bosnia. Keluarga dipisahkan dengan todongan senjata — para perempuan diusir secara paksa, dan pria serta anak laki-laki dibawa pergi untuk dieksekusi, jasad mereka kemudian disembunyikan di kuburan massal. Hal ini menimbulkan kekejaman khusus dari genosida — hilangnya satu generasi ayah, suami, dan putra.
Aku berbicara dengan sesama sutradara Jasmila Zbanic, yang filmnya amat terkenal tentang peristiwa itu, Quo Vadis Aida,telah terpilih untuk Oscar. Film ini menceritakan kisahnya melalui sudut pandang seorang perempuan Bosnia, Aida, yang bertugas sebagai penerjemah untuk pasukan PBB saat ia berjuang menyelamatkan suami dan anak-anaknya — dan rakyatnya — dari kekerasan yang akan datang. Jasmila bercerita bagaimana Ibu-ibu Srebrenica menginspirasinya dalam pembuatan film tersebut. Selama lebih dari dua dekade, kelompok perempuan yang selamat ini telah menggunakan protes damai dan kekuatan cinta ibu untuk menjaga ingatan laki-laki mereka tetap hidup, mencari jasad mereka dan mencari keadilan dan kebenaran. Kami berbicara tentang pengaruh para Ibu terhadap kami berdua, sebagai perempuan dan artis; apa yang dunia bisa pelajari dari teladan damai mereka; dan mengapa mereka ada dalam pikiran kita pada Hari Perempuan Internasional.
Jasmila, Anda hidup selama perang di Bosnia, dan pengepungan Sarajevo, selama 1.425 hari itu. Apa dampaknya bagi Anda?
Aku berumur 17 tahun ketika perang dimulai. Awalnya kupikir itu keren sebab tak ada sekolah, sehingga ulangan matematikaku ditunda. Amat mengasyikkan karena semuanya terbalik. Ketika pembunuhan dimulai, ketika listrik padam dan kami kehabisan makanan, itu tak menyenangkan lagi. Prioritas berubah dan aku mulai menghargai hidup secara berbeda dan menghargai setiap detail kecil darinya.
Pasti terasa seperti Anda harus tumbuh dalam semalam ?
Itu membentukku sebagai manusia dan sebagai seniman. Aku mendaftar di akademi seni dan mulai membuat film pendek, meski kami hampir tak punya peralatan. Film kelulusanku film dokumenter, Red Rubber Boots, tentang seorang ibu yang mencari putranya yang berusia empat tahun dan bayinya yang berusia sembilan bulan, yang dibunuh dan dikuburkan di kuburan massal. Topik-topik ini, rasa sakit dan ketidakadilan ini membentukku selamanya.
Mengapa Anda merasa harus menceritakan kisah pembantaian Srebrenica?
Srebrenica adalah tragedi universal peradaban kita. Meski 26 tahun telah berlalu, ini masih merupakan trauma besar bagi wilayah kami.
Apa Anda khawatir tentang risiko serangan balik, mengingat topiknya amat mentah?
Kami tahu Srebrenica masih merupakan topik yang amat menyakitkan sehingga beberapa politisi akan mencoba menggunakan film kami untuk tujuan mereka sendiri — untuk menciptakan perpecahan lain di antara bangsa-bangsa — sebab itu kami harus menyembunyikan fakta bahwa kami sedang syuting.
Apa sulit membuat film itu?
Jangka waktu pembiayaan amat sulit. Semua orang berkaata orang tak ingin menonton film tentang genosida. Dan bagi seorang pembuat film perempuan di Balkan, yang masyarakatnya masih amat patriarkal, sepuluh kali lebih sulit untuk memposisikan diri Anda sendiri untuk membuat film. Jadi, ketika film itu tayang perdana dan penonton menangis, aku terkejut dan amat bahagia. Senang rasanya melihat penonton menyukai film dengan subjek yang sulit juga.
Sebagai seseorang yang telah bekerja di PBB selama bertahun-tahun, aku masih terguncang dari Srebrenica. Tragisnya adalah orang-orang percaya bahwa pasukan penjaga perdamaian PBB yang ditempatkan di sana akan melindungi mereka. Sebaliknya daerah itu dibanjiri, dan pembantaian terjadi. Apa pengalaman ini memengaruhi cara Anda memandang PBB, dan apa Anda punya perasaan yang kuat tentang bagaimana PBB harus berubah di masa depan?
PBB adalah gagasan luar biasa tentang sebuah lembaga yang menyatukan kita semua, dan aku ingin melihatnya lebih kuat, lebih baik, dan lebih bertekad. Tapi PBB masih dipengaruhi kepentingan politik yang tidak ada kaitannya dengan HAM, dan itu membuat PBB secara sistematis korup. Aku percaya kita harus membuat PBB melayani rakyat dan bukan politisi. Aku amat berharap bahwa Quo Vadis Aida dapat membantu untuk mempertanyakan independensi keputusan PBB dan perlunya lebih banyak tekad untuk melindungi hak asasi manusia.
Bagian dari kengerian unik pembantaian Srebrenica adalah niat yang disengaja membunuh semua pria dan anak laki-laki—pria dan anak-anak yang tak bersenjata. Sulit membayangkan kerugian yang diwakilinya.
Aku telah bertemu perempuan yang kehilangan 40 anggota keluarga mereka: putra, suami, saudara laki-laki, sepupu, ayah, kakek… tiga generasi telah berlalu. Koneksi dengan masa lalu dan masa depan terhapus. Kerugiannya begitu tak tertahankan, dan lubang yang tertinggal di hati para penyintas tak terukur.
Salah satu hal yang benar-benar menakjubkan dan menginspirasi yang muncul dari kengerian itu adalah Ibu dari Srebrenica, yang menjaga ingatan orang yang mereka cintai tetap hidup, mencari jasad mereka tanpa lelah, dan dengan damai mengkampanyekan keadilan. Apa pentingnya bagi Anda sebagai warga negara Bosnia?
Aku tak bisa memahami bagaimana mereka punya kekuatan luar biasa. Para ibu masih mencari tulang belulang putra dan suaminya. 1.700 mayat masih belum ditemukan. Mereka tetap tersembunyi.
Aku ingat duduk bersama sekelompok Ibu, dan salah satu dari mereka memberi tahu aku bahwa setelah bertahun-tahun mencari, yang ia miliki untuk menguburkan putranya hanya dua tulang kaki kecil. Hanya potongan-potongan itu yang bisa ia temukan darinya. Sebagai orang tua, itu tidak terbayangkan.
Beberapa Ibu hidup hanya untuk menemukan mereka dan menguburkan orang yang mereka cintai. Mereka tahu semua kerabat mereka sudah meninggal, dan jika mereka tak menemukannya, anak-anak mereka bahkan tak akan punya kuburan untuk dikunjungi. Aku tahu tak ada film yang dapat mengkomunikasikan rasa sakit sebanyak itu, tapi aku mencoba menunjukkan sebagian kecil dari tragedi ini.
Itu selalu mengejutkanku betapa beraninya para Ibu. Mereka telah kembali ke rumah yang mereka bangun atau tinggali, seringkali sebagai satu-satunya anggota keluarga yang masih hidup. Mereka merawat kebun mereka, mereka berusaha hidup berdampingan secara damai dengan tetangga mereka, bahkan setelah apa yang terjadi.
Mereka tidak pernah meminta balas dendam. Semua energi mereka diarahkan untuk menemukan kebenaran dan keadilan. Itulah satu-satunya cara untuk membangun perdamaian sejati. Bahkan setelah tragedi seperti itu, merekalah yang mempromosikan gagasan untuk hidup bersama dan saling mencintai.
Apa menurut Anda ini adalah sesuatu yang unik bagi mereka, atau apa itu menjelaskan sesuatu tentang perempuan secara umum?
Kupikir perempuan selalu menemukan solusi dalam situasi yang tidak mungkin. The Women from Srebrenica adalah organisasi unik yang berbagi nilai-nilai dari banyak organisasi perempuan lainnya, seperti Women in Black, sebuah organisasi perempuan Serbia yang bekerja keras melawan perang.
Menurut Anda, apa para ibu dari Srebrenica telah menerima pengakuan yang pantas mereka terima?
Aku benar-benar berharap kami akan menominasikan mereka untuk Hadiah Nobel Perdamaian, karena mereka adalah kekuatan unik pembawa damai di dunia.
Itu ide yang bagus. Aku berharap orang-orang akan mengambilnya, dan itu bisa menjadi bagian dari penyembuhan dari trauma perang.
Anda benar dan kupikir traumanya amat dalam dan belum sembuh sama sekali. Salah satu alasannya adalah bahwa genosida terus-menerus disangkal, dan itu sangat menyakiti keluarga para korban. Selama kebenaran tidak diakui dan diterima, tidak mungkin untuk terus maju.
Menurut Anda, bagian apa yang harus dimainkan seni dalam hal itu?
Aku yakin film bisa mengubah dunia. Bahkan jika satu orang berubah dan memutuskan untuk tidak menyakiti orang lain, itu adalah pencapaian.
0 Komentar